Jumat, 01 Maret 2019

MAKALAH TAFSIR AYAT-AYAT ILMU PENGETAHUAN


TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG ILMU PENGETAHUAN
Tujuan: Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Tafsir II
Dosen Pengampu: Burhanudin,M.Pd.I



Disusun oleh:
Kelompok 1 

Asep Abdurrahman   : 007.14.4491.16
Resi Restiani     : 007.14.4508.16
Siti Aminah Fazriah  : 007.14.4511.16




Jurusan Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam ( STAI) Sukabumi
Jl. Lio Balandongan Sirnagalih No. 74, Telp/Fax. (0266)225464 Cikondang,
Citamiang, Kota Sukabumi



Kata Pengantar
Segala puji dan syukur Penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, Shalawat dan salam juga disampaikan kepada nabi akhir zaman Nabi Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, para tabi’in , attbau ttabi’in, para alim ulama, sampai kepada kita.
Dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah Tafsir II para program studi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sukabumi dengan ini penulis mengangkat judul ”Tafsir Ayat- Ayat Tentang Ilmu Pengetahuan.”
Dalam Menyelesaikan Makalah ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak .Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
   Bapak Burhanudin, M.Pd.I selaku dosen mata kuliah Tafsir II yang telah memberikan tugas mengenai karya ilmiah ini sehingga pengetahuan penulis dalam penulisan serta penyusunan Karangan Ilmiah makin bertambah dan hal itu sangat bermanfaat bagi penyusunan skripsi kami dikemudian hari.
Penyusun menyadari bahwa Penyusunan Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu penulis harapkan demi kesempurnaan modul ini. Akhir kata, Penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. penulis ucapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Sukabumi, 27 Februari 2019


              Penulis



Daftar Isi


Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
BAB II 2
PEMBAHASAN 2
A. Tafsir Al-qur’an surat Al- Baqarah ayat 32 2
1. Q.S Al-baqarah: 32 2
2. Tafsir Q.S Al- Baqarah : 32 2
B. Tafsir Q.S ar-Rahman ayat 19-20 dan 33 4
1. Q.S Ar-Rahman : 19-20 4
2. Tafsir Q.S Ar-rahman :19 4
3. Q.S Ar-Rahman :20 5
4. Tafsir Q.S Ar-Rahman :20 5
5. Q.S Ar-Rahman : 33 5
6. Tafsir Q.S Ar-Rahman : 33 5
C. Tafsir Q.S Al-Mujadilah, ayat 11 6
1. Q.S Al-Mujadilah: 11 6
2. Tafsir Q.S Al-Mujadilah :11 6
D. Tafsir Q.S An-Nahl, ayat  72 14
1. Q.S An-Nahl:72 14
2. Tafsir Q.S An-Nahl: 72 14
E. Tafsir Q.S Al-anbiya, Ayat 79 17
1. Q.S Al-Anbiya: 79 17
2. Tafsir Q.S Al-Anbiya : 79 17
F. Tafsir Q.S Az-Zumar, ayat 9 22
1. Q.S Az-Zumar: 9 22
2. Tafsir Q.S az-Zumar :9 22
BAB III 26
Penutup 26
1. Kesimpulan 26
Daftar pustaka 27




























BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ilmu pengetahuan merupakan anugerah yang sangat agung  dan rahasia illahi yang paling besar dari sekian banyak rahasia Allah di alam ini. Allah menciptakan dan membentuk manusia dengan peangkat akal dan pikiran yang respnsif terhadap berbagai fenomena kehidupan di muka bumi, beserta berbagai macam tanda kebesaran-Nya di jagad raya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dikukuhkan menjadi pembawa risalah kekhalifahan di muka bumi, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan mengembangkannya.dengan dinamika kehidupan dan berbagai pernak-perniknya, berdasarkan petunjuk Allah SWT, selaras dengan manhaj dan arahan-Nya, sehingga proses pencarian maupun pengamalan ilmu pengetahuan dapat dikategorikan sebagai ibadah.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-qur’an, ada persepsi bahwa Al-qur’an itu adalah kitab ilmu pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar isyarat- isyarat A-qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Dari isyarat tersebut sebagian para ahli berupaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan hasil yang sesuai dengan isyarat, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut.

Rumusan Masalah
Bagaimana penjelasan tentang Q.S Al- Baqarah : 32
Bagaimana penjelasan tentang Q.S Ar-Rahman : 19-20, 33
Bagaimana penjelasan tentang Q.S Al-Mujadilah : 11
Bagaimana penjelasan tentang Q.S An-Nahl : 72
Bagaiman penjelasan tentang Q.S Al-Anbiya : 79-80
Bagaimana penjelasan tentang Q.S Az-Zumar : 9


BAB II
PEMBAHASAN

Tafsir Al-qur’an surat Al- Baqarah ayat 32
Q.S Al-baqarah: 32
قَلُوا سُبحنَكَ لَا عِلْمَ لَنضا اِلَّا مَا عَلَّمتَنَا . اِنَّكَ اَنتَ العَلِيمُ الحَكِيمُ                                         
Artinya:
Mereka menjawab: “ Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana “ ( Al-baqarah : 32)
Tafsir Q.S Al- Baqarah : 32
Para Maaikat berkata: “ kami menyucikan engkau wahai Tuhan kami, tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, hanya Engkau Dzat yang Maha Mengetahui urusan –urusan Seluruh makhluk lagi Dzat yang Maha Bijaksana dalam segala pengaturan-Mu. (Tafsir Al-Muyassar)
Kementrian Agama Saudi Arabia  setelah mengumumkan kelemahan dan keterbatasan mereka, para malaikat berkata: “Ya Tuhan, Maha Suci Engkau, tidak ada yang tahu tentang hal ghaib kecuali Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami tanpa Engkau ajari. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui segala sesuatu dan maha Bijaksana atas segala ciptaan”.(Tafsir Al- Wajiz)
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili 32. قَلُوا سُبحنَكَ لَا عِلْمَ لَنضا اِلَّا مَا عَلَّمتَنَا
(mereka menjawab:” Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami) yakni kami tidak mengetahui hal- hal yang ghaib yang tidak bisa diketahui oleh para makhluk (yang termasuk didalamnya keutamaan Nabi Adam A.S dan keturunannya karena ilmu mereka).
Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir/ Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar , makna kata سُبحنَكَ  :Maha Suci Engkau !bentuk pemuliaan dan pensucian kepada Allah SWT makna ayat: Mereka tidak mampu dan mengumumkan  ketidak mampuannya seraya mengataka,”Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami: “pelajaran dari ayat:keutamaan berani mengatakan ketidak mampuan dan kekurangan.
Aisarut Tafasir / Abu Bakar Jabir al-Jazairi, pengajar di Masjid Nabawi Dari sikap kami yang berani berbicara terhadap ucapan-Mu dan menyelisihi perintah-Mu. Hikmah atau bijaksana artinya adalah tepat, yakni menempatkan sesuatu pada posisi yang layak. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika samar bagi seorang hamba hikmah Allah menciptakan sesuatu atau memerintahkan sesuatu, maka kewajibannya adalah tunduk dan menerima.
 Hidayatul Insan bi Tafsiril Qur'an / Marwan Hadidi bin Musa, M.Pd.I هداية الانسان بتفسير القرآن- Mereka, para malaikat, tidak sanggup menyebutkan nama benda-benda tersebut dan menjawab, maha suci engkau dari segala kekurangan, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami. Sungguh, engkaulah yang maha mengetahui, mahabijaksana. Jawaban malaikat ini adalah jawaban yang penuh santun. Pertama, malaikat mengemukakan ketidak mampuan mereka untuk menyebutkan nama-nama benda itu dengan ungkapan yang menunjukkan kemahasucian Allah. Kedua, malaikat merasa bahwa pengetahuan mereka sangatlah sedikit. Pengetahuan mereka adalah pemberian dari Allah semata. Ketiga, malaikat memuji Allah dengan dua sifat yaitu yang maha mengetahui segala sesuatu dan mahabijaksana dalam semua kebijakan dan seluruh pekerjaan-Nya, termasuk pemilihan nabi adam, manusia, sebagai khalifah. Kemudian Allah memberikan kesempatan kepada nabi adam untuk menyebutkan nama benda-benda yang telah Allah ajarkan kepadanya. Allah SWT berfirman, wahai adam! beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu! lalu nabi adam pun menyebutkan nama benda-benda itu dengan segala macam kegunaan dan manfaatnya. Pada saat itulah malaikat memahami bahwa manusialah yang pantas untuk menjadi khalifah di bumi ini. Setelah dia, nabi adam, menyebutkan nama-nama benda-benda tersebut dan apa manfaat dan kegunaan-Nya, Allah berkata secara lebih tegas lagi tentang kebenaran rencana besar-Nya dan berfirman dengan nada pertanyaan, bukankah telah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan' Allah memberi dua alasan tentang penunjukan nabi adam menjadi khalifah. Pertama, bahwa dia mengetahui rahasia di jagat raya yaitu semua yang ada di langit dan bumi. Kedua, bahwa Allah mengetahui apa yang dipendam dalam diri malaikat dan juga hati manusia. Jika demikian, maka gagasan Allah untuk menjadikan manusia sebagai khalifah pasti mempunyai banyak hikmah.
Tafsir Q.S ar-Rahman ayat 19-20 dan 33
Q.S Ar-Rahman : 19-20
مَرَجَ البَخْرَينِ يَلْتَقِيَانِ                                                                       
Artinya : “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang kemudian keduanya bertemu. "(Ar-Rahman: 19)

Tafsir Q.S Ar-rahman :19
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu mengatakan bahwa makna waltaqiyani ialah membiarkan keduanya mengalir.
Menurut Ibnu Zaid, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mencegah keduanya membaur dengan menjadikan pemisah yang menghalangi kedua air (asin dan tawar) membaur menjadi satu. Dan yang dimaksud dengan dua lautan ialah air asin dan air tawar. Air tawar adalah air yang terdapat di sungai-sungai yang ada di antara manusia. Pembahasan mengenainya telah kami sebutkan di dalam tafsir surat Al-Furqan, yaitu pada firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
                   {وَهُوَ الَّذِى مَرَجض البَخرَينِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ اُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا                                                                      }
Artinya: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan);  yang ini tawar lagi segar, dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. (Al-Furqan: 53)
Ibnu Jarir dalam hal ini memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bahrain ialah lautan yang ada di langit dan lautan yang ada di bumi. Pendapat ini diriwayatkan dari Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Atiyyah, dan Ibnu Abza. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa dikatakan demikian karena mutiara itu terjadi berkat pertemuan antara laut yang ada di langit dan laut yang ada di bumi. Jika memang demikian, sudah barang tentu pengertian ini tidak di dukung oleh teks ayat yang menyebutkan:
Q.S Ar-Rahman :20
{بَيْنَهُمَا بَرزَخٌ لَا يَبغِيَانِ }
Artinya : “antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. (Ar-Rahman: 20)
Tafsir Q.S Ar-Rahman :20
Yakni Allah telah menjadikan di antara keduanya dinding pembatas yang menghalangi keduanya dapat membaur, agar yang ini tidak mencemari yang itu, dan sebaliknya yang itu tidak mencemari yang ini sehingga dapat melenyapkan spesifikasi masing-masing yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala justru untuk tujuan tersebut. Dan jika dikatakan seperti itu, berarti tidak ada lagi dinding penghalang yang mencegah air langit dan air bumi untuk terpisah.
Q.S Ar-Rahman : 33
يَا مَعشَرَ الجِنِّ وَالاِنِشِ اِنِ اسْتَطَعتُم اَنْ تَنْفُذُوا مِن اقْطَارِ السّمَوَاتِ وَالْاَرضِ فَا نفُذُوا لَا تَنفُذُونَ اِلّا بِسُلطَانٍ
Artinya: “ Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus( melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (Ar-Rahman ;33)
Tafsir Q.S Ar-Rahman : 33
Yakni kalian tidak akan dapat melarikan diri dari erintah Allah SWT dan takdir-Nya, bahkan Dia meliputi kaliandan kalian tidak akan mampu melepaskan diri dari hukum-Nya, tidak pula membatalkan hukum-Nya terhadap kalian, kemana pun kalian pergi selalu diliput. Dan ininmenceritakan keadaan di yaumul mahsyar (hari manusia dihimpunkan); sedangkan semua malaikat mengawasisemua makhluk sebanyak 7 saf dari semua penjuru, maka tiada seorang pun yang dapat meloloskan diri, اِلَّا بِسُلطَانٍ (Kecuali dengan Kekuasaan).
Menurut sebagian ahli tafsir Pengertian “Sultan” pada ayat ini adalah ilmu pengetahuan.dengan hal ini bisa menunjukan bahwa dengan ilmu manusia bisa menembus ruang angkasa.
Yaitu dengan perintah Alalh SWT
يضقُولُ الاِنسَانُ يَومَئِذٍ اَينَ المَفَرُّ. كَلَا لَا وَزَرَ. اِلَى رَبِّكَ يَومَئِذٍ المُستَقَرُّ                         
“pada hari itu manusia berkata ,” kemanakah tempat lari?” sekali-kali tidak!Tidak ada tempat berlindung!  Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali( Al-Qiyamah:10-12)
Disebut pula pada riwayat lain melalui frman Allah SWT:
وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَيِّئاَتِ جَزَاءُ سَيِّئَةِ بِمِثْلِهَا وَتَر هَقُهُم ذِلَّةٌ مَا لَهُم ِنَ اللّه  مِن عَا صِمٍو ٍ كَاَنَّمَا اَغشِيَتْ وُجُوهُهُم قِطَعًا مِنَ اللَّيلِ مُضلِمًا اُولَئِكَ  اَص حَابُ النَّرِ هُم فِيهَا خَا لِدُونَ
Artinya:” Dan orang –orang mengajarkan kejahatan (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan.Tidak ada bgi mereka serang peindung pun dari (Azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka;mereka kekal didalamnya. ( Yunus:27)

Tafsir Q.S Al-Mujadilah, ayat 11
Q.S Al-Mujadilah: 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ا مَنُوا اِذَا قِيلَ لَكُم تَفَسَّحُوا فِى المَجَالِسِ فَا فْسَحُوا يَفْسَحِ اللّهُ لَكُم وَاِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَا نْشُزُوا يَرفَعِ للّهُ  الَّذِينَ امَنُو مِنْكُم وَالَّذِينَ اُوتُا العِلمَ دَرَجَاتً وض اللَّهُ بِمَا تَعمَلُونَ خَبِيرٌ  
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Q.S Al-Mujadilah :11
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman untuk mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman seraya memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka bersikap baik kepada sebagian yang lain dalam majelis-majelis pertemuan. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي المَجَالِسِ
Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " (Al-Mujadilah: 11)
Menurut qiraat lain, ada yang membacanya al-majlis; yakni dalam bentuk tunggal, bukan jamak.
فَا فسَحُوا يَفسَحِ اللّهُ لَكُم
maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11)
Demikian itu karena pembalasan disesuaikan dengan jenis amal perbuatan. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih:
" مَن بَنَ لِلَّهِ مَسجِدًا بَنَ اللّهُ لَهُ بَيتًا فِي الجَنَّةِ
Artinya:”Barang siapa yang membangun sebuah masjid karena Allah, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.”
Dan di dalam hadis yang lain disebutkan:
وَمَن يَسَّر عَلَى مُعسِرِ يَسَّر اللّهُ عَلَيهِ فِى الدُّنيَا وَلإَخِرَةِ. وَمَن سَتَرَ مثسلِمًا سَتَرَهُ اللّهُ فِى الدُّنيَا وَالاَخِرَةِ. وَ اللّهُ فِى عَونِ العَبدِ مَا كَانَ العَبدُ فِى عَونِ أَخِيهِ                       
Artinya:” Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada orang yang sedang kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama si hamba menolong saudaranya.
Masih banyak hadis lainnya yang serupa. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: فَا فسَحُوا يَفسَحِ اللّهُ لَكُم
“maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11)”
Qatadah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan majelis zikir. Demikian itu karena apabila mereka melihat ada seseorang dari mereka yang baru datang, mereka tidak memberikan kelapangan untuk tempat duduknya di hadapan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Maka Allah memerintahkan kepada mereka agar sebagian dari mereka memberikan kelapangan tempat duduk untuk sebagian yang lainnya.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada hari Jumat, sedangkan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pada hari itu berada di suffah (serambi masjid); dan di tempat itu penuh sesak dengan manusia. Tersebutlah pula bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam ialah memuliakan orang-orang yang ikut dalam Perang Badar, baik dari kalangan Muhajirin maupun dari kalangan Ansar. Kemudian saat itu datanglah sejumlah orang dari kalangan ahli Perang Badar, sedangkan orang-orang selain mereka telah menempati tempat duduk mereka di dekat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Maka mereka yang baru datang berdiri menghadap kepada Rasulullah dan berkata, "Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau, hai Nabi Allah, dan juga keberkahan-Nya." Lalu Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam menjawab salam mereka. Setelah itu mereka mengucapkan salam pula kepada kaum yang telah hadir, dan kaum yang hadir pun menjawab salam mereka. Maka mereka hanya dapat berdiri saja menunggu diberikan keluasan bagi mereka untuk duduk di majelis itu. Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam mengetahui penyebab yang membuat mereka tetap berdiri, karena tidak diberikan keluasan bagi mereka di majelis itu. Melihat hal itu Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam merasa tidak enak, maka beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang bukan dari kalangan Ahli Badar, "Hai Fulan, berdirilah kamu. Juga kamu, hai Fulan." Dan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam mempersilakan duduk beberapa orang yang tadinya hanya berdiri di hadapannya dari kalangan Muhajirin dan Ansar Ahli Badar. Perlakuan itu membuat tidak senang orang-orang yang disuruh bangkit dari tempat duduknya, dan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam mengetahui keadaan ini dari roman muka mereka yang disuruh beranjak dari tempat duduknya. Maka orang-orang munafik memberikan tanggapan mereka, "Bukankah kalian menganggap teman kalian ini berlaku adil di antara sesama manusia? Demi Allah, kami memandangnya tidak adil terhadap mereka. Sesungguhnya suatu kaum telah mengambil tempat duduk mereka di dekat nabi mereka karena mereka suka berada di dekat nabinya. Tetapi nabi mereka menyuruh mereka beranjak dari tempat duduknya, dan mempersilakan duduk di tempat mereka orang-orang yang datang terlambat." Maka telah sampai kepada kami suatu berita bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: رَحِمَ اللّهُ رَجُلًا فَسَح لِأَ خِيهِ
“Semoga Allah mengasihani seseorang yang memberikan keluasan tempat duduk bagi saudaranya.”
Maka sejak itu mereka bergegas meluaskan tempat duduk buat saudara mereka, dan turunlah ayat ini di hari Jumat.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
قَالَ الاِمَامُ اَحمَدُو وَالشَّا فِعِيُّ : حَدَّثَنَا سُفيَانُو عَن اَيُّوبَ, عَن نَافِعٍ, عَنِ ابنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُولَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "لأَا يُقِيمُ الرَّجُلَ مِن مَجَلِسِهِ فَيَجلِسَ فِيهِ وَلَكِن تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا         
Artinya:” Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Janganlah seseorang menyuruh berdiri orang lain dari majelisnya, lalu ia duduk menggantikannya, tetapi lapangkanlah dan luaskanlah tempat duduk kalian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini melalui Nafi' dengan sanad yang sama.
قَالَ الشَفِعِيُّ : اَخبَرَنَا عَبدُ المَجِيدِ, عَنِ ابنِ جُرَيجٍ قَالَ سُلَيمَانُ بنُ مُوسَى, عَن جَابِرش بنِ عَبدِ اللّهِ, اَنَّ رَسُلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُقِيمَنَّ اَحَدُكُم أَخَاهُ يَومَ الجُمُعَةِ, وَلَكِن لِيَقُلْ : افْسَحُوا
Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Majid, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa Sulaiman ibnu Musa telah meriwayatkan dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah bersabda: Jangan sekali-kali seseorang di antara-kamu mengusir saudaranya (dari tempat duduknya) di hari Jumat, tetapi hendaklah ia mengatakan, "Lapangkanlah tempat duduk kalian!"
Hadis ini dengan syarat kitab sunan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا ‘ضبدُ المَلِكِ بنُ عَمرٍو,حَدَّثَنضا فُلَيحِ, عَن اَيُّبَ عَن عَبدِ الرَّحَنِ بنِ <ابِي> صَعصَعَة, عَن يَعقُوبَ بنِ اَبِي يَعقُوبَ , عَن اَبي هُرَيرَةَ, عَنِ النَّبِي صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "لَا يُقمِ الرِّجَلُ الرَجُلَ مِن مَجَلِسِهِ ثُمَّ يَجلِس فِيهِ, وَلَكِن افسَحُوا يَفسَحِ اللّهُ لَكُم "
Artinya:”Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Umar dan telah menceritakan kepada kami Falih, dari Ayyub, dari Abdur Rahman ibnu Sa'sa'ah, dari Ya'qub ibnu Abu Ya'qub, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam yang telah bersabda: Janganlah seseorang mengusir saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk di tempatnya, tetapi (katakanlah), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan kelapangan bagi kalian.”
وَرَوَاهُ أَيْضًا عَن سُرَيجِ بنِ يُونُس,وَيُونُس بنِ مُحَمَّدٍ المُؤَدِّبِ, عَن فُلَيحِ, بِهِ, وَلَفظُهُ:" لَا يَقُومُ  الرجُلُ لِرَّجُلِ مِن مَجلِسِهِ, وَلضكِن اقسَحُو يَفسَحِ اللّهُ لَكُم                             
Artinya:”Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Syuraih ibnu Yunus dan Yunus ibnu Muhammad Al-Mu'addib, dari Falih dengan sanad yang sama, sedangkan teksnya berbunyi seperti berikut: Janganlah seseorang mengusir orang lain dari tempat duduknya, tetapi (hendaklah ia mengatakan), "Berlapang-lapanglah kalian, semoga Allah memberikan kelapangan bagi kalian.” "
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini secara munfarid (sendirian)
Ulama ahli fiqih berbeda pendapat sehubungan dengan kebolehan berdiri karena menghormati seseorang yang datang. Ada beberapa pendapat di kalangan mereka; di antaranya ada yang memberikan rukhsah (kemurahan) dalam hal tersebut karena berlandaskan kepada dalil hadis yang mengatakan:"قَومُوا اِلَى سَيِّدِكُمْ"
“Berdirilah kamu untuk menghormat pemimpinmu!”
Di antara mereka ada pula yang melarangnya karena berdalilkan hadis Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam lainnya yang mengatakan:
"مَن اَحَبَّ أَن يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَليَتبوَّا َقعَدضه مِنَ النَّرِ
“Barang siapa yang merasa senang bila orang-orang berdiri untuk menghormati dirinya, maka hendaklah ia bersiap-siap untuk mengambil tempat duduknya di neraka.”
Dan di antara mereka ada yang menanggapi masalah ini secara rinci. Untuk itu ia mengatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan bila baru tiba dari suatu perjalanan, sedangkan si hakim (penguasa) yang baru datang berada di dalam daerah kekuasaannya. Hal ini telah ditunjukkan oleh hadis yang menceritakan kisah Sa'd ibnu Mu'az, karena sesungguhnya ketika Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam memanggilnya untuk menjadi hakim terhadap orang-orang Bani Quraizah, dan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melihatnya tiba, maka beliau Shalallahu'alaihi Wasallam bersabda kepada kaum muslim (pasukan kaum muslim): Berdirilah kalian untuk menghormat pemimpin kalian!
Hal ini tiada lain hanyalah agar keputusannya nanti dihormati dan ditaati; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Adapun bila hal tersebut dijadikan sebagai tradisi, maka hal itu merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang 'Ajam. Karena di dalam kitab-kitab sunnah telah disebutkan bahwa tiada seorang pun yang lebih disukai oleh mereka selain dari Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam apabila datang kepada mereka, mereka tidak berdiri untuknya, mengingat mereka mengetahui bahwa beliau tidak menyukai cara tersebut.
Di dalam hadis yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam belum pernah duduk di tempat yang paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah majelis itu. Sedangkan para sahabat duduk di dekatnya sesuai dengan tingkatan mereka. Maka Abu Bakar As-Siddiq Radhiyallahu Anhu duduk di sebelah kanannya, Umar Radhiyallahu Anhu di sebelah kirinya, sedangkan yang di depan beliau sering kalinya adalah Usman dan Ali karena keduanya termasuk juru tulis wahyu. Dan Nabi sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hal tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam Muslim melalui hadis Al-A'masy, dari Imarah ibnu Umair, dari Ma'mar, dari Abu Mas'ud, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
لِيَلينى  منكُم أولوا الاَحلاَمِ وَالنُّهَى , ثُمَّ الَذِينَ يَلَونَهُم, ثُمَّ الَّذِينض يَلُونَهُم
“Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.”
Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami dari beliau apa yang beliau sabdakan. Karena itulah maka beliau Shalallahu'alaihi Wasallam memerintahkan kepada mereka yang duduk di dekatnya untuk bangkit dan agar duduk di tempat mereka orang-orang Ahli Badar yang baru tiba. Hal ini adakalanya karena mereka kurang menghargai kedudukan Ahli Badar, atau agar Ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima bagian mereka dari ilmu sebagaimana yang telah diterima oleh orang-orang yang sebelum mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-orang yang memiliki keutamaan itu (Ahli Badar) harus diprioritaskan berada di depan (dekat dengan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam)
قَالَ الاِمَام أَحمَدُ: حَدَّثَنَا وَكِيعِ, عَنِ الاَعمَشِ, عَن عُمَرَة بنِ عُمَيرٍ التَّيمِيِّ عَن اَبيْ مَعمَرِ, عَن اَبِي مَسعُودٍ قَالَ : كَانَ رَسُولَاللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَسَحُ مَنَا كِبَنَا فِي الصَّلَاةِ وَيَقُولُ: "استوُوا وَلَا تَحتَلِفُوا فَتَحتَلِفَ قُلُوبُكُم, لِيَليَنى مِنكُم اُولُو الاَحلَامِ وَالنُّهى, ثُّمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم, ثُّمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُم
Imam Ahmad mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Imarah ibnu.Umair Al-Laisi, dari Ma'mar, dari Abu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah mengusap pundak-pundak kami sebelum salat seraya bersabda: Luruskanlah saf kalian, janganlah kalian acak-acakan karena menyebabkan hati kalian akan bertentangan. Hendaklah yang berada di dekatku dari kalian adalah orang-orang yang memiliki budi dan akal, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.”
Abu Mas'ud mengatakan, bahwa keadaan kalian sekarang lebih parah pertentangannya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunnah—kecuali Imam Turmuzi— melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad yang sama.
Apabila hal ini dianjurkan oleh Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam kepada mereka dalam salat, yaitu hendaknya orang-orang yang berakal dan ulamalah yang berada di dekat Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam, maka terlebih lagi bila hal tersebut di luar salat.
Imam Abu Daud telah meriwayatkan melalui hadis Mu'awiyah ibnu Saleh, dari AbuzZahiriyah, dari Kasir ibnu Murrah, dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Luruskanlah semua saf, sejajarkanlah pundak-pundak (mu), tutuplah semua kekosongan (saf), dan lunakkanlah tangan terhadap saudara-saudaramu, dan janganlah kamu biarkan kekosongan (safjmu ditempati oleh setan. Barang siapa yang menghubungkan safnya, maka Allah akan berhubungan dengannya; dan barang siapa yang memutuskan saf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.
Karena itulah maka Ubay ibnu Ka'b yang terbilang pemimpin Ahli Qurra, apabila sampai di saf yang pertama, maka dia mencabut seseorang darinya yang orang itu termasuk salah seorang dari orang-orang yang berakal lemah, lalu ia masuk ke dalam saf pertama menggantikannya. Ia lakukan demikian karena berpegang kepada hadis berikut yang mengatakan: "لِيَليَنِي مِنكُم اُولُوا اضلاَحلَامِ وَالنُّهضى                         
“Hendaklah mengiringiku dari kalian orang-orang yang berbudi dan berakal.”
Lain halnya dengan sikap Abdullah ibnu Umar, ia tidak mau duduk di tempat seseorang yang bangkit darinya untuk dia karena mengamalkan hadis yang telah disebutkan di atas yang diketengahkan melalui riwayatnya sendiri.
Di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika kami (para sahabat) sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam, tiba-tiba datanglah tiga orang. Salah seorang dari mereka menjumpai kekosongan dalam halqah, maka ia masuk dan duduk padanya. Sedangkan yang lain hanya duduk di belakang orang-orang, dan orang yang ketiga pergi lagi. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
ألا أنبَئَكُم بِخَبَرٍ الثَّلَاثَةِ, اَمَّالاَوَّلُ فَاَوَى اِلَى اللّهش فَاَوَهُ اللّهُ,وَاَمَّ الثَّنِى فَاستَحيَا فَستَحيَا اللّهُ  مِنهُ , وَاَمَّا الثَّلِثُ فَاَعرَضَ فَاضعرَضَاللّهُ عَنهُ                           
Artinya:”Ingatlah, aku akan menceritakan kepada kalian tentang orang yang terbaik di antara tiga orang itu. Adapun orang yang pertama, dia berlindung kepada Allah, maka Allah pun memberikan tempat baginya. Sedangkan orang yang kedua, ia merasa malu, maka Allah merasa malu kepadanya. Dan adapun orang yang ketiga, dia berpaling, maka Allah berpaling darinya.”
“Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Attab ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam telah bersabda: Tidak diperbolehkan bagi seseorang memisahkan di antara dua orang (dalam suatu majelis), melainkan dengan seizin keduanya.”
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Usamah ibnu Zaid Al-Laisi dengan sanad yang sama, dan Imam Turmuzi menilainya hasan.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri dan selain keduanya, bahwa mereka mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Apabila dikatakan kepadamu, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, " maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. (Al-Mujadilah: 11) Yakni dalam majelis peperangan. Mereka mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Maksudnya, berdirilah untuk perang.
Lain halnya dengan Qatadah, ia mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apabila dikatakan, "Berdirilah kamu, " maka berdirilah. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu apabila kamu diundang untuk kebaikan, maka datanglah. Muqatil mengatakan bahwa apabila kamu diundang untuk salat, maka bersegeralah kamu kepadanya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa dahulu mereka (para sahabat) apabila berada di hadapan Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam di rumahnya, dan masa bubar telah tiba, maka masing-masing dari mereka menginginkan agar dirinyalah orang yang paling akhir bubarnya dari sisi beliau. Dan adakalanya Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam merasa keberatan dengan keadaan tersebut karena barangkali Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam mempunyai keperluan lain. Untuk itulah maka mereka diperintahkan agar pergi bila telah tiba saat bubar majelis.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَرفَعُ اللّهُ الَّذِينَ اَمَنُوا مِنكُم وضالَّذِينَ اُوتُوا العِلمَ دَرَجَاتٍ وَاللّهُ بِمَا تَعمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya:”niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11)
Yakni janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa apabila seseorang dari kalian memberikan kelapangan untuk tempat duduk saudaranya yang baru tiba, atau dia disuruh bangkit dari tempat duduknya untuk saudaranya itu, hal itu mengurangi haknya (merendahkannya). Tidak, bahkan hal itu merupakan suatu derajat ketinggian baginya di sisi Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala itu untuknya, bahkan Dia akan memberikan balasan pahalanya di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya barang siapa yang berendah diri terhadap perintah Allah, niscaya Allah akan meninggikan kedudukannya dan mengharumkan namanya. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Mujadilah: 11) Yaitu Maha Mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak berhak mendapatkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Abut Tufail alias Amir ibnu Wasilah, bahwa Nafi' ibnu Abdul Haris bersua dengan Umar Radhiyallahu Anhu di Asfan, dan sebelumnya Umar telah mengangkatnya menjadi amilnya di Mekah. Maka Umar bertanya kepadanya, "Siapakah yang menggantikanmu untuk memerintah ahli lembah itu (yakni Mekah)?" Nafi' menjawab, "Aku angkat sebagai penggantiku terhadap mereka Ibnu Abza —seseorang dari bekas budak kami—." Umar bertanya, "Engkau angkat sebagai penggantimu untuk mengurus mereka seorang bekas budak?" Nafi' menjawab, "Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya dia adalah seorang pembaca Kitabullah (ahli qiraat lagi hafal Al-Qur'an) dan alim mengenai ilmu faraid serta ahli dalam sejarah." Maka Umar Radhiyallahu Anhu berkata dengan nada menyetujui, bahwa tidakkah kami ingat bahwa Nabimu telah bersabda:
اِنَّ اللّهَ يَرفَعُ بِهَذَا الكِتَابِ قَومًا وَيَضَعُ بِهِ اَخَرِينَ
 “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat suatu kaum berkat Kitab (Al-Qur'an) ini dan merendahkan kaum lainnya karenanya.”{
Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan pula melalui berbagai jalur dari Umar hal yang semisal.
D. Tafsir Q.S An-Nahl, ayat  72
Q.S An-Nahl:72
{وَاللَّه جعَلَ لَكُم مِن اَنفُسِكُم اَزوَاجَا وَجَعَلَ لَكُم مِن اَزوَاجِكُم بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُم مِن88َ الطَيِّبَاتِ اَفَبِ البَاطِلِ يُؤمِنُنَ وَبِنِعمَةِ اللّهِ هُم يَكفُرُونَ                        َ (72) }
Artinya: “Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan meng­ingkari nikmat Allah?”
Tafsir Q.S An-Nahl: 72
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan nikmat-nikmat-Nya yang telah Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya, bahwa di antaranya ialah Dia menjadikan bagi mereka istri-istri dari jenis dan rupa mereka sendiri. Seandainya Allah menjadikan bagi mereka istri-istri dari jenis lain, tentulah tidak akan ada kerukunan, cinta, dan kasih sayang. Tetapi berkat rahmat Allah, Dia menciptakan Bani Adam jenis laki-laki dan perempuan, dan Dia menjadikan perempuan sebagai istri dari laki-laki.
Selanjutnya Allah menyebutkan bahwa dari hasil perkawinan itu Dia menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagi mereka.Hafadah artinya anak-anak dari anak laki-laki, menurut Ibnu Abbas, Ikrimah, Al-Hasan, Ad-Dahhak, dan Ibnu Zaid.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud ialah anak-anak dan cucu-cucu.
Sunaid mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa al-banin ialah anak-anakmu yang membantumu dan memberikan pelayanan­nya kepadamu, seperti yang dikatakan oleh salah seorang penyair dalam bait syairnya, yaitu:
حفَد الَلَائِدُ حَولَهُن وَاسلمتُ .... بِأكُفِهِن ازِمَّةَ الأجمَال                                   
"Anak-anak itu memberikan pelayanan di sekitar mereka dan aku serahkan tali kendali unta kepada anak-anak itu melalui telapak tangan mereka."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, "Baruna wahafadah" bahwa makna yang dimaksud ialah anak seseorang dan pelayannya.
Dalam riwayat lain disebutkan pula bahwa hafadah ialah penolong, para pembantu, dan para pelayan. Tawus dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa hafadah artinya para pelayan. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah, Abu Malik, dan Al-Hasan Al-Basri.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah; ia mengatakan bahwa hafadah ialah orang-orang yang melayanimu dari kalangan anak-anak dan cucu-cucumu.
Ad-Dahhak mengatakan, sesungguhnya orang-orang Arab itu hanyalah dilayani oleh anak-anaknya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah Swt.: dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu anak-anak dan cucu-cucu. (An-Nahl: 72) Bahwa yang dimaksud dengan hafadah ialah anak-anak tiri.
Dan dikatakan hafadah bagi seseorang yang bekerja pada orang lain, misalnya, "Fulanunyahfadu larid (si Fulan bekerja untuk kami)." Tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa hafadah ialah besan seseorang. Pendapat terakhir yang disebutkan oleh Ibnu Abbas ini bersumber dari Ibnu Mas'ud, Masruq, Abud Duha, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, dan Al-Qurazi. Ikrimah telah meriwayatkannya dari Ibnu Abbas. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hafadah adalah menantu.

Ibnu Jarir mengatakan, semua pendapat tersebut termasuk ke dalam pengertian hafadah, yaitu pelayan yang termasuk ke dalam pengertian ini hal yang disebutkan di dalam doa qunut, yaitu:"  وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ"
"Dan hanya karena Engkaulah usaha dan pelayanan kami."
Mengingat pelayanan ini adakalanya berasal dari anak-anak, para pelayan, dan saudara ipar, maka nikmat pelayanan itu telah terujudkan dengan adanya kesemuanya itu. Untuk itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dalam firman-Nya: {  وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً}
“dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian, anak-anak, dan cucu-cucu.” (An-Nahl: 72)
Menurut kami, siapa yang menjadikan lafaz hafadah ber-ta'alluq kepada lafaz azwajikum, maka sudah seharusnya dikatakan bahwa makna yang dimaksud adalah cucu-cucu atau menantu, sebab menantu adalah suami anak perempuan, dan termasuk ke dalam pengertian ini anak-anak istri (anak tiri). Demikianlah yang dikatakan oleh Asy-Sya'bi dan Ad-Dahhak. Karena sesungguhnya mereka itu kebanyakan berada di bawah jaminan seorang lelaki dan berada di bawah asuhannya serta menjadi pelayannya. Dan adakalanya pengertian inilah yang dimaksudkan dari sabda Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam dalam hadis Nadrah ibnu Aktam yang bunyinya:"  وَالْوَلَدُ عَبْدٌ لَكَ"       Anak adalah budakmu. (Riwayat Abu Daud
Adapun menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa hafadah adalah para pelayan, hal ini berarti lafaz hafadah ber-ta'alluq kepada firman-Nya:
{أ  وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِن اَ نْفُسِكُم أَزْوَاجًا}
“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri.” (An-Nahl: 72)
Maksudnya, Dia telah menjadikan bagi kalian istri-istri dan anak-anak sebagai pelayan-pelayan kalian.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {ْالطَّيِّبَاتِ مِنَ  وَرَزَقَكُم}
“dan memberi kalian rezeki dari yang baik-baik. “(An-Nahl: 72)
Yakni makanan-makanan dan minuman-minuman.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengingkari sikap orang-orang yang mempersekutukan diri-Nya dalam penyembahan dengan selain-Nya, padahal Dialah yang memberikan nikmat-nikmat itu kepada mereka:
{ يُؤْمِنُونَ أَفَبِالْبَاطِلِ }
“Maka mengapa mereka beriman kepada yang batil. “(An-Nahl: 72)
Yang dimaksnd dengan 'yang batil' dalam ayat ini ialah sekutu-sekutu dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah. وَبِنِعَةِ اللّهِ هُم يَكفُرُونَ
dan mengingkari nikmat Allah? (An-Nahl: 72)
Yaitu menyembunyikan nikmat-nikmat Allah, lalu mereka nisbatkan kepada selain-Nya. Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan seperti berikut:
"اَنَّ اللّهَ تَعَالَى يَقُولُ لِلعَبدِ يَومَ القِيَامَةِ ممتنا عَليهِ" ألم ازوَاجُكَ, اَلَم أُسَخِّر لَكَ الَيلَ وضالاِبِلَ وضأَذَركَ ترأس وَتَربَع,"                                             
“Sesungguhnya Allah berfirman kepada seorang hamba pada hari kiamat mengingatkan akan nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya, "Bukankah Aku telah mengawinkanmu? Bukankah Aku telah memuliakannmu? Bukankah Aku tundukkan bagimu kuda dan unta, serta membiarkanmu memimpin dan berkuasa?”
E. Tafsir Q.S Al-anbiya, Ayat 79
Q.S Al-Anbiya: 79
{آ فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا اّتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا}
Artinya: ”maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. (Al-Anbiya: 79)
Tafsir Q.S Al-Anbiya : 79
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Humaid, bahwa Iyas ibnu Mu'awiyah setelah diangkat menjadi kadi kedatangan Al-Hasan, lalu Iyas menangis. Maka Al-Hasan bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu menangis?" Iyas menjawab, "Wahai Abu Sa'id (sebutan Al-Hasan), telah sampai suatu berita kepadaku, bahwa kadi itu ada tiga macam. Pertama, seorang kadi yang berijtihad dan ternyata ijtihadnya keliru, maka ia dimasukkan ke dalam neraka. Kedua, seorang kadi yang cenderung kepada hawa nafsunya, maka ia dilemparkan ke dalam neraka. Ketiga, seorang kadi yang berijtihad dan ternyata benar ijtihadnya, maka ia dimasukkan ke dalam surga." Al-Hasan Al-Basri berkata, bahwa sesungguhnya di dalam kisah Daud dan Sulaiman serta nabi-nabi lainnya yang diceritakan oleh Allah kepada kita terkandung suatu keputusan yang dapat menangkal pendapat mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman: Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya mem­berikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu di rusak oleh kambing-kambing kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. (Al-Anbiya: 78) Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji Sulaiman, tetapi Allah tidak mencela Daud. Kemudian Al-Hasan mengatakan bahwa sesungguhnya para hakim diambil sumpahnya atas tiga perkara. Yaitu hendaknya mereka tidak menjual keputusannya dengan harga yang sedikit (tidak boleh ditukar dengan harta duniawi), tidak boleh memperturutkan hawa nafsunya dalam memberikan keputusan hukum, dan janganlah merasa takut terhadap seseorang pun demi kebenaran dalam memutuskan hukum. Kemudian Al-Hasan membaca firman-Nya:
يَا دَاوُدُ أِنَّا جَعَلنَاكَ خَلِيفَةً فِى الاَرضِ فَاحكُم بَينَ النَّاسِ بِالحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللّهِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
{ ا  فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ}
“Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. “(Al-Maidah: 44)
Dan firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:
{ ا  وَلا تَشْتَرُو بِآيَاتِي  ثَمَنًا قَلِيلا}
“Dan janganlah kalian menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” (Al-Baqarah: 4)
Menurut kami, para nabi itu adalah orang-orang yang di-ma'sum lagi mendapat bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala Hal ini merupakan suatu masalah yang tidak diperselisihkan lagi di kalangan ulama ahli tahqiq, baik dari kalangan ulama Salaf maupun ulama Khalaf.
Adapun mengenai selain para nabi, maka telah disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari sebuah hadis melalui Amr ibnul As yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
اِذَااجتَهَدَ الحَاكِمُ فَاَصَابَ فَلَهُ أجرَانِ وَاِذَا اجتَهَدَ فَاضخطَأَ فَلَهُ أَجرٌ             
“Apabila seorang hakim berijtihad, lalu benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad, lalu keliru, maka baginya satu pahala.”
Hadis ini merupakan nas yang menyanggah anggapan Iyas bahwa seorang kadi itu apabila berijtihad dan ternyata ijtihadnya keliru, maka dimasukkan ke dalam neraka. Hanya Allah-lah yang mengetahui kebenarannya.
Di dalam kitab-kitab sunan disebutkan hadis berikut:
القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ : قَاضٍ فِى الجَنَّةِ, وَقَاضِيَانِ فِى النَّارِ: رَجُلٌ عَلِمَ الحَقَّ وَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِى الجَنَّةِ, وَرَجُلٌ حَكَمَ بَينَ النَّاسِ عَلَى جضهلٍ فَهُوَ فِى النَّرِ, وَرَجُلٌ عَلِمَ الحَقَّ وَقَضَى  بِخِلَافِهِ, فَهُوَ فِى النَّارِ         
Kadi itu ada tiga macam, seorang di antaranya masuk surga, se­dangkan dua orang lainnya masuk neraka. Yaitu seorang lelaki yang mengetahui perkara yang hak, lalu ia memutuskan peradilan sesuai dengan kebenaran itu, maka dia masuk surga. Dan seorang lelaki yang memutuskan hukum di antara manusia tanpa pengetahuan, maka ia masuk neraka. Dan seorang lelaki yang mengetahui perkara yang benar, tetapi ia memutuskan peradilan yang bertentangan dengan kebenaran itu, maka ia dimasukkan ke dalam neraka.
Mirip dengan kisah yang ada dalam ayat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa:
حَدَّثَنا عَلِيُّ بنِ حَفضِ اَخبَرَنَا  وَرقَاء عَن اَبى الزَّنَادِ عَنِ الاَعرَجِ عَن اَبِى هُرَيرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ :بَينَمَا اِمرَاَتَانِ مَعَهُمَا ابنَانِ لَهُماَ  جَاءَ الذِّئبُ فَأَخَذَ أَحضدَ الَاِبنَتَينِ فَتَحَاكَمَتَا إِلَى دَاوُدَ فَقَضَى بِهِ لِلكُبرَى فَخَرَجَتَا . فَدَغَا هُمَا سُلضيمَانُ فَقَالَ: هَا تُوا السِّكِينَ اَشُقُّهُ بَينَهُمَأ فَقَالَتِ الصُّغرَى يَرحَمُكَ اللّهُ هُوَ ابنُهَا لَا تَشُقهُ فَقَضَى بِهِ لِلصُّغرَى                               
telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Warqa, dari Abuz Zanad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Ketika dua orang wanita sedang bersama bayinya masing-masing, tiba-tiba datanglah serigala dan memangsa salah seorang dari kedua bayi itu. Maka kedua wanita itu mengadukan perkaranya kepada Daud. Daud memutuskan peradilan untuk kemenangan wanita yang tertua di antara keduanya, lalu keduanya keluar dari majelis peradilan. Tetapi keduanya dipanggil oleh Sulaiman, dan Sulaiman berkata, "Ambilkanlah pisau besar, aku akan membelah bayi ini menjadi dua untuk dibagikan kepada kamu berdua.” Maka wanita yang muda berkata, "Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya anak ini adalah anaknya, janganlah engkau membelahnya.” Maka Sulaiman memutuskan bahwa bayi itu adalah anak wanita yang muda.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya masing-masing. Imam Nasai meriwayatkannya di dalam Kitabul Qada, Bab "Hakim Boleh Bersandiwara Menentang Hukum Demi Memperoleh Keterangan yang Benar."
Begitu pula kisah yang diketengahkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim ibnu Asakir dalam kisah biografi Nabi Sulaiman 'alaihissalam dalam kitab tarikhnya. Ia meriwayatkannya melalui jalur Al-Hasan ibnu Sufyan, dari Safwan ibnu Saleh, dari Al-Walid ibnu Muslim, dari Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas. Kisahnya cukup panjang, sedangkan secara singkat adalah seperti berikut:
Di masa kaum Bani Israil terdapat seorang wanita cantik yang disukai oleh empat orang pemimpin mereka, tetapi wanita itu menolak keinginan masing-masing pemimpin yang mengajaknya berbuat mesum. Kemudian keempat orang itu sepakat untuk menjerumuskan wanita itu. Mereka berempat mengemukakan kesaksiannya di hadapan Daud 'alaihissalam bahwa wanita itu telah bersetubuh dengan seekor anjing miliknya yang telah biasa ia latih untuk tujuan itu. Maka Daud 'alaihissalam memerintahkan agar wanita itu dihukum rajam sampai mati.

Kemudian pada sore harinya Sulaiman duduk dan berkumpul bersama anak-anak remaja yang seusia dengannya. Sulaiman bersandiwara dengan mereka, ia berperan menjadi seorang hakim, dan empat orang temannya memakai pakaian yang mirip dengan apa yang dipakai oleh keempat or­ang pemimpin tersebut. Sedangkan seorang anak lagi dari kalangan temannya memakai pakaian wanita. Kemudian keempat anak itu berpura-pura melakukan kesaksian untuk menjerumuskan si wanita tersebut, bahwa wanita itu telah melakukan persetubuhan dengan anjing peliharaannya.
Sulaiman (yang memegang peran sebagai hakim) berkata, "Pisahkanlah masing-masing dari mereka." Maka Sulaiman menanyai saksi yang pertama, "Apakah warna anjing itu?" Saksi yang pertama menjawab, bahwa warna bulu anjing itu hitam. Setelah itu ia dipisahkan, lalu Sulaiman memanggil saksi lainnya dan menanyakan kepadanya tentang warna bulu anjing tersebut. Saksi kedua menjawab, bahwa warna bulu anjing itu adalah merah. Saksi yang ketiga mengatakan kelabu, sedangkan saksi yang terakhir mengatakan putih. Maka pada saat itu juga Sulaiman berpura-pura menjatuhkan hukuman mati kepada keempat saksi tersebut.
Ketika permainan sandiwara itu dikisahkan kepada Daud 'alaihissalam, maka saat itu juga Daud 'alaihissalam memanggil kembali keempat orang lelaki tadi.  Lalu ia menanyai mereka seorang demi seorang secara terpisah mengenai warna bulu anjing yang diajak mesum oleh wanita yang telah dijatuhi hukuman rajam sampai mati tadi. Ternyata jawaban masing-masing berbeda-beda, akhirnya Nabi Daud 'alaihissalam memerintahkan agar mereka dihukum mati.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَسَخَّرَنَا مَعَ دَاوُدَ الجِبَالَ يُسَبِّحنَ وَالطَّيرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ                                                     
dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. (Al-Anbiya: 79), hingga akhir ayat.
Demikian itu terjadi karena suara Daud yang sangat merdu bila membaca kitab Zaburnya. Tersebutlah bahwa apabila Daud melagukan bacaan kitabnya, maka burung-burung yang ada di udara berhenti dan menjawab­nya, gunung-gunung pun menjawab bacaannya dan mengikutinya. Karena itulah ketika Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam melewati Abu Musa Al-Asy'ari r.a yang sedang membaca Al-Qur’an di malam hari, Abu Musa Al-Asy'ari mempunyai suara yang sangat merdu, maka Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam berhenti dan mendengarkan bacaannya. Dan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
لَقَد أُوتِيَ هَذَا مََاحِيرَ آلِ دَاوُدَ
“Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi sebagian dari kemerduan (keindahan) suara keluarga Nabi Daud yang merdu bagaikan suara seruling.”
Maka Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Wahai Rasulullah, seandainya saya mengetahui bahwa engkau mendengarkan bacaan saya, tentulah saya akan memperindah suara saya dengan seindah-indahnya demi engkau."
Abu Usman An-Nahdi mengatakan bahwa ia belum pernah mendengar suara alat musik apa pun yang lebih indah daripada suara Abu Musa Radhiyallahu Anhu Selain itu Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda mengenainya:اُوتِيَ مِزمَارًا مٍن مَزَا مِيرِ آلِ دَاوُدَ      لَقَد
Sesungguhnya dia telah dianugerahi sebagian dari kemerduan suara keluarga Daud yang merdu bagaikan suara seruling.
F. Tafsir Q.S Az-Zumar, ayat 9
Q.S Az-Zumar: 9
أَم مَن هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحذَرُ الآِخِرَةَ وَيَرجُو رَحَةَ رَبِّهِ قُل هَل يَستَوِى الَّذِينَ يَعلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعلَمُونَإنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الأَلبَابِ                                                                     
Artinya:”(Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Tafsir Q.S az-Zumar :9
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman bahwa apakah orang yang mempunyai sifat demikian sama dengan orang yang mempersekutukan Allah dan menjadikan bagi-Nya tandingan-tandingan? Jawabannya tentu tidak sama di sisi Allah. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
لَيسُوا سَوَاءً مِن اَهلِ الكِتَابِ اُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتلُونَ آيَاتِ اللّهِ آنَاءَ اللَّيلِ وَهُم يَسجُدُونَ
“Mereka itu tidak sama: di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka mambaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedangkan mereka juga bersujud (salat). “(Ali Imran,: 113)
Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
اَم مَن هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيلِ سَاجِدًا وضقَا ئِمًا
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri. (Az-Zumar: 9)
Yakni dalam keadaan sujud dan berdirinya mereka berqunut. Karena itulah ada sebagian ulama yang berdalilkan ayat ini mengatakan bahwa qunut ialah khusyuk dalam salat bukanlah doa yang dibacakan dalam keadaan berdiri semata, yang pendapat ini diikuti oleh ulama lainnya.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Firas, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa al-qanit artinya orang yang selalu taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya.
Ibnu Abbas r.a, Al-Hasan, As-Saddi, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ana-al lail ialah tengah malam, yakni waktu-waktu tengah malam.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur yang mengatakan, bahwa telah sampai kepadanya bahwa makna yang dimaksud ialah waktu malam yang terletak antara Magrib dan Isya.
Al-Hasan dan Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ana-al lail ialah permulaan, pertengahan, dan akhirnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَحذَرُ الآخِرَةَ وَيَرجُو رَحمَةَ رَبِّهِ
“Sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya.” (Az-Zumar: 9)
Yaitu dalam ibadahnya ia takut dan berharap kepada Allah. Dan merupakan suatu keharusan dalam ibadah terpenuhinya hal ini, juga hendaknya perasaan takut kepada Allah mendominasi sebagian besar dari masa hidupnya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: sedangkan ia takut kepada (azab) hari akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. (Az-Zumar: 9)
Dan apabila sedang menjelang ajal, hendaklah rasa harap lebih menguasai diri yang bersangkutan, seperti yang dikatakan oleh Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab musnadnya. Ia mengatakan:
حَدَّثَنا يَحيَى بنُ عَبدِ الحَمِيدِ حَدَّ ثَنَا ثَابِتٌ عَن أَنَسٍ قَالَ: دَخَلَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ فِالمَوتٍ فَقَالَ لَهُ: " كَيفَ تَجِدُكَ  قَالَ: أَرجُو وَأَخَافُ. فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ : لَا يَجتَمِعَانِ فِى قُلبِ عَبدٍ فِى  مِثلِ هَذَا المَوطِنِ اِلّأَ اَعطَاهُ اللّهُ عَزَّوَجَلَّ الَّذِي يَرجُو  وَاَمنَهُ الَّذِى يَخَافُهُ 
telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam menjenguk seorang lelaki yang sedang menjelang ajalnya, lalu beliau bertanya, "Bagaimanakah perasaanmu sekarang?" lelaki itu menjawab, "Aku berharap dan aku takut (kepada azab Allah)." Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda: Tidaklah terhimpun perasaan ini pada kalbu seseorang hamba dalam keadaan seperti ini, melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepadanya apa yang diharapkannya dan mengamankannya dari apa yang ditakutinya.
Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah telah meriwayatkan hadis ini, serta Imam Ibnu Majah; semuanya melalui hadis Sayyar ibnu Hatim, dari Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini garib. Sebagian dari mereka meriwayatkannya melalui Sabit, dari Anas, dari Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam secara mursal.
Ibnu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Syaibah, dari Ubaidah An-Numairi, telah menceritakan kepada kami Abu Khalaf ibnu'Abdullah ibnu Isa Al-Kharraz, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Bakka, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: (Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (Az-Zumar: 9) Lalu ia berkata bahwa dialah Usman ibnu Affan Radhiyallahu Anhu
Dan sesungguhnya Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu mengatakan demikian karena ia melihat Amirul Mu-minin Usman Radhiyallahu Anhu banyak mengerjakan salat di malam hari, juga banyak membaca Al-Qur'an, bahkan sering ia membaca Al-Qur'an dalam satu rakaat, seperti yang telah diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu
Imam Ahmad mengatakan bahwa Ar-Rabi’ ibnu Nafi' pernah berkirim surat kepadanya yang isinya menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Humaid, dari Yazid ibnu Waqid, dari Sulaiman ibnu Musa, dari Kasir ibnu Murrah, dari Tamim Ad-Da'ri Radhiyallahu Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda: Barang siapa yang membaca seratus ayat dalam semalam, maka dicatatkan baginya pahala qunut semalam suntuk.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaum wal Lailah-nya dari Ibrahim ibnu Ya'qub, dari Abdullah ibnu Yusuf dan Ar-Rabi' ibnu Nafi', keduanya dari Al-Haisam ibnu Humaid dengan sanad yang sama.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
قُل هَل يَستَوِى الَّذِينَ يَعلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعلَمُونَ
“Katakanlah, 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Az-Zumar: 9)

Maksudnya, apakah orang yang demikian sama dengan orang yang sebelumnya yang menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah? (Jawabannya tentu saja tidak sama). أِنَّمَا يَتَذَكَّرُأُولُو الأَلبَابِ
Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar: 9)
Yakni sesungguhnya yang mengetahui perbedaan antara golongan ini dan golongan yang sebelumnya hanyalah orang yang mempunyai akal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.




BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian Ayat-ayat diatas, dapat disimpulkan diantaranya:
Tidaklah semua makhluk mengetahui sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Makhluknya.
Allah SWT telah mencegah dua lautan yang mengalir berbaur dengan menjadikan pemisah yang menghalangi kedua air.
Dinding pembatas yang menghalangi keduanya itu agar yang ini tidak mencemari yang itu dan yang itu tidak mencemari yang ini sehingga tidak melenyapkan spesifikasi masing-masing yang diciptakan oleh Allah SWT.
Kalian tidak akan bisa melarikan diri dari perintah Allah SWT dan takdir-Nya, bahkan dia meliput kalian dan kalian tidak akan mampu melepaskan diri dari hukum-Nya, tidak pula membatalkan hukum-Nya terhadap kalian, kemanapun kalian pergi selalu diawasi.
Apabila kita memberikan kemudahan kepada rang yang sedang kesulitan, maka Allah SWT akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan diakhirat
Kadi itu ada tiga macam, seorang diantaranya masyk surga dan keduanya masuk neraka , yaitu seseorang yang mengetahui perkara yang hak lalu membenarkannya,maka ia masuk surga dan yang masuk neraka yaitu memutuskan hukum diantara manusia tanpa pengetahuan.
Haruslah kita merasa takut akan Azab Allah SWT dan mengharap rahmat Allah agar kita rajin beribadah dan menjadi hamba yang bertaqwa.

























Daftar pustaka

https://tafsirweb.com/294-surat-al-baqarah-ayat-32.html
Al-imam Abdul fida Isma’il ibnu katsir Ad-dimasyqi.Aplikasi
Muhammad Yusuf,Ahmad.et.al;(2016);Ensiklpedi tematis ayat Al-Qur’an& hadits jilid 6;.tahun20016;Jakarta;widya Cahya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar